Menurut Kramarae dan ahli teori feminist yang lain, Pemikiran kaum wanita tidak dinilai sama sekali. Dan ketika kaum wanita coba menyuarakan ketidaksetaraan ini, kontrol komunikasi yang dikuasai oleh paham maskulin cenderung tidak menguntungkan para wanita. Dan bahasa yang diciptakan oleh kaum pria “diciptakan dengan berpretensi, tidak menghargai dan meniadakan kaum wanita.” Wanita oleh karenanya menjadi kelompok yang terbungkam (muted group).
MUTED GROUP: LOBANG HITAM DI ALAM SEMESTA ORANG LAIN
Ide bahwa wanita adalah grup yang terbungkam, pertama kali diusulkan oleh antropolog sosial Universitas Oxford Edwin Ardner. Didalam monografi dia "kepercayaan dan masalah wanita". Istrinya Shirley Ardener, ia mulai menyadari bahwa kebungkaman disebabkan oleh kurangnya kekuatan yang menyerang kelompok mana pun yang menempati ujung bawah tiang totem. Muted Group adalah orang-orang yang termasuk kelompok berkekuatan rendah yang harus mengubah bahasa mereka ketika berkomunikasi secara publik, dengan demikian, ide-ide mereka sering diabaikan (perempuan).
KEKUATAN MASKULIN UNTUK MEMBERI NAMA PENGALAMAN
Kramarae juga berasumsi bahwa wanita dan pria memandang dunia secara berbeda dikarenakan mereka memiliki pengalaman dan aktivitas yang berbeda dalam pembagian kerja mereka. Kendala lain bagi kaum wanita adalah tidak memadainya kosakata yang tersedia bagi wanita untuk mengutarakan atau mengekspresikan apa yang ada di dalam benak mereka, apa-apa yang mereka inginkan, mengekspresikan pengalaman mereka.
SPEAKING WOMEN'S TRUTH IN MEN'S TALK: MASALAH TERJEMAHAN
Dengan asumsi dominasi maskulin dari komunikasi publik menjadi kenyataan saat ini, Kramae menyimpulkan bahwa "untuk berpartisipasi dalam masyarakat harus mengubah model mereka sendiri dalam hal sistem ekspresi laki-laki yang diterima" seperti bicara bahasa kedua, terjemahan ini proses membutuhkan usaha yang konstan dan biasanya membuat wanita bertanya-tanya apakah dia mengatakan "benar". seorang penulis wanita mengatakan pria dapat "mengatakannya dengan benar".
SPEAKING OUT IN PRIVATE: BERHUBUNGAN DENGAN WANITA
Relief susan pada kesempatan untuk berbicara bebas dengan dekan perempuan lainnya menggambarkan prinsip utama teori grup yang diredam. Kramarae menyatakan bahwa "perempuan cenderung menemukan cara untuk mengekspresikan diri di luar mode publik yang dominan dari ekspresi yang digunakan oleh laki-laki baik dalam konvensi verbal dan perilaku nonverbal mereka.
SEXUAL HARASSMENT: COINING A TERM TO LABEL EXPERIENCE
Sexsual harassment adalah pengenaan persyaratan seksual yang tidak diinginkan dalam konteks hubungan kekuasaan yang tidak setara. Ann Burnett mengidentifikasi kebingungan serupa dan tidak berdaya terkait dengan date rape. Date rape adalah aktivitas seksual yang tidak diinginkan dengan kenalan, teman, atau pasangan romantis. Menurut Kramarae, ketika sexual harassment pertama kali digunakan dalam sebuah kasus di tahun 1970an, itu adalah satu-satunya istilah hukum yang didefinisikan oleh perempuan.
CO-CULTURAL THEORY: BAGAIMANA MUTED GROUP BERBICARA PADA DOMINANT GROUPS
Profesor Mark Orbe menemukan 3 tujuan umum.
- Assimilation. atau membaur dengan dominant grup.
- Separation. atau meminimalkan kontak apapun dengan dominant grup.
- Accomodation. atau mencoba membujuk budaya dominant untuk " ubah peraturan maka mereka menggabungkan pengalaman hidup" pada muted grup.
CONTOH JURNAL:
Kajian Opini Perempuan Pasca Relokasi (Studi Pada Perempuan Kalijodo di Rusun Pulogebang)
1.PENDAHULUAN
Dewasa ini, perempuan masih menjadi kelompok yang termarjinalkan. Kenyataan tersebut juga tidak jauh berbeda dalam fenomena sosial sehari-hari. Pada kehidupan nyata— dimanakaum hawatelah banyak disibukkan dengan urusan rumah tangga—para perempuan juga turut terkena dampak dari regulasi pemerintahan setempat. Beragam upaya perbaikan dan pembenahan yang berkesinambungan dikerjakan pemerintah provinsi (pemprov) DKI Jakarta khususnya di bawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama sedikit banyaknya juga turut memberikan andil atas kurang berdayanya perempuan untuk menyalurkan pendapatnya. Salah satu upaya penertiban kawasan liar yang diproyeksikan sebagai lahan terbuka menjadikan warga—dan juga kaum perempuan di kawasan yang dimaksud—semakin terbatas ruang geraknya, khususnya dalam menyikapi kebijakan pemerintah, termasuk warga perempuan yang dahulu menetap di kawasan Kalijodo (Jakarta Barat) dengan mayoritas berperan sebagai ibu rumah tangga dan juga bekerja disektor informal.
2. METODE PENELITIAN
Riset ini menggunakan pendekatan studi kasus. Studi kasus kualitatif memiliki ciri bahwa peneliti menghabiskan waktunya di lapangan. Ketika peneliti terjun langsung serta terlibat dengan berbagai aktivitas dan operasi kasus yang diteliti, peneliti juga merefleksikan dan merevisi makna-makna yang bermunculan dari fenomena yang diamati. Studi kasus adalah suatu strategi riset, penelaahan empiris yang menyelidiki suatu gejala dalam latar kehidupan nyata. Secara umum, seperti halnya pada tujuan penelitian lain, pada dasarnya peneliti yang menggunakan metode penelitian studi kasus bertujuan untuk memahamiobjek yang ditelitinya.
3.PEMBAHASAN.
Riset ini menetapkan Mariamah sebagai narasumber utama (key informant). Ibu Mariamah telah menjadi ketua Rukun Tetangga (RT) selama puluhan tahun di Kalijodo dan juga selama menetap di Rusunawa Pulogebang (RPG). Selama menghabiskan 40 tahun lebih hidupnya di Kalijodo, Mariamah mengepalai kurang lebih 100 kepala keluarga. Perempuan (single parent) berusia 58 tahun yang memiliki empat orang anak dan beberapa cucu ini, Mariamah sudah menjadi ikon (simbol) yang kuat di kalangan warga di Kalijodo dengan perannya sebagai ketua RT selama puluhan tahun.
4. KESIMPULAN.
Peneliti menjawab rumusan masalah dari hasil penelitian yang didapatkan bahwasanya opini perempuan yang terdampak dari program penertiban pemukiman (relokasi) kawasan Kalijodo (Jakarta Barat) menguatkan Teori Kelompok Bungkam. Para perempuan belum terlalu ‘berani’ (frontal) menyikapi program atau kebijakan yang diterapkan yang belum sesuai dengan aspirasi warga perempuan. Disamping hal tersebut, kaum perempuan yang menjadi kelompok minoritas juga masih harus tunduk (menyesuaikan) dengan kebijakan yang ditetapkan pengelola (kelompok mayoritas).
Daftar Pustaka: